http://elitetalkfusion.com |
Mendapatkan kursi jabatan/kedudukan, secara manusiawi, sepertinya memang sangat menarik-menggiurkan. Kemana-mana dihormati, dipanggil Bapak/Ibu Yth, dijamu, bahkan bisa juga dipuja-puji dan dielu-elukan. Selain itu, bisa mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Berbagai urusan dipermudah, termasuk dalam mengatur pundi-pundi kekayaan dan atau kesenangan. Itulah bentuk harfiah sebuah kekuasaan.
Maka wajarlah, secara manusiawi pula, banyak yang mengejarnya. Bahkan seperti marketing produk pada umumnya, mereka kesana-kemari menawarkan ‘keunggulannya’ agar dipilih untuk dijadikan calon pemimpin atau jabatan tertentu. Kadang dengan segala macam cara yang kurang beretika.
Itu tipe manusia pertama. Memandang kekuasaan dan jabatan sebagai sebuah kenikmatan.
Yang ini, karena memang tidak membutuhkan modal jiwa kepemimpinan atau kemampuan yang kuat, tentu saja yang mayoritas ada di sekitar kita. Mudah, tapi seringnya memang tidak murah, karena seperti dunia dagang, ada penjual ada pembeli. Ada pemberi / penawar jabatan, ada pencari jabatan. Akhirnya terciptalah jual beli jabatan.
Ada juga tipe manusia kedua, dimana memandang jabatan atau kekuasaan sebagai sebuah titipan, amanah, dan tanggung jawab. Dia sama sekali tidak mampu, atau minimal tidak berani melihat sisi kenikmatan dari sebuah jabatan atau kekuasaan. Walaupun dia tahu dan sadar sepenuh-penuhnya, bahwa kenikmatan itu akan ‘menghantuinya’.
Jikalaupun dia manawarkan diri, itu pun dengan segenap tanggung jawab yang siap ditempuh. Bukan membayangkan kenikmatan yang akan didapatkannya, tapi membayangkan beban-beban tanggung jawab yang harus dijalankan, seandainya dia jadi dibebani sebuah jabatan/kedudukan. Seberapa berhasil dia akan bisa mengemban amanah, dan seberapa besar resiko-resiko kegagalannya. Karena kegagalan tersebut akan mengorbankan banyak pihak, terutama rakyat yang dipimpinnya.
Tipe manusia seperti ini, walaupun berani berjanji, dia akan sangat hati-hati mengucapkannya, karena semua harus terjamin pembuktiannya. Dan tentu saja jarang ada. Karena sering tidak muncul di permukaan. Dia sibuk mensukseskan amanah-amanah yang sudah ada, bukan mencari amanah-amanah baru yang belum tentu dia bisa menjalankannya dengan baik.
Maka dari itu, kalau bisa para pemimpin partai jangan sekedar menunggu para caleg yang datang, yang menawar-2kan dirinya. Sekalipun tidak semua jelek, tapi ada baiknya mencari para kader2 yang sibuk bekerja di ranah masing-masing. Yang sibuk dengan tugas-tugasnya, bukan yang sibuk mencari tugas-tugas baru, padahal tugas yang sudah ada bisa jadi tidak berjalan dengan baik (khas manusia tidak amanah).
Atau minimal cari caleg yang dalam tugasnya selama ini tidak ada celah wan prestasi. Jika pengusaha, pengusaha yang jujur, dermawan, peduli ekonomi rakyat, dan berani. Jika pengacara, yang tegas dan peduli sesama. Jika guru/ustadz, cari yang mencintai pendidikan.
Saya malah usul, jangan cari yang mereka khusus memiliki profesi politikus atau ketua-ketua ormas, dan tidak memiliki profesi lain. Karena sebenarnya tidak ada namanya pekerjaan sebagai politikus atau organisasi masyarakat. Politik atau jabatan ormas adalah jabatan amanah, bukan profesi, tidak ada jaminan penghasilan disana. Lha kalo tidak ada penghasilan, mereka mencari nafkah untuk keluarga dari mana? Masak dari ormas?
Oleh : Jaka Prasetio
Oleh : Jaka Prasetio